Minggu, 29 November 2015

Sufisme dan Pluralisme (SOLD OUT)

(SOLD OUT)

Sufisme dan Pluralisme
Memahami Hakikat Agama dan Relasi Agama-agama
~ Yunasril Ali, stok 1, Quanta, 2012,  Kondisi Baik, bukan baru, Rp 60.000,- blm ongkir.

Dari hari ke hari, sentimen keagamaan di Indonesia tetap marak. Paham atau gerakan yang memaksakan kepercayaan terhadap yang lain dengan kekerasan masih bertebaran. Peristiwa memilukan dari penyesatan, pengusiran, perkelahian antarpemeluk agama, bahkan antarpemeluk agama tertentu yang berbeda aliran menjadi berita sehari-hari. Hal itu jelas mengusik asas kebinekaan yang dianut negara selama ini dan memperburuk rekam jejak untuk mempertahankan heteroginitas bangsa.

Lewat buku ini, Yunasril Ali menawarkan gagasannya untuk memecahkan akar permasalahan yang terus menimpa Indonesia. Menurut guru besar ilmu tasawuf ini, yang dilakukan banyak kalangan untuk mengurai benang kusut masalah itu melulu pendekatan formalis-eksoteris. Pendekatan ini lebih menekankan pada dimensi lahiriah keagamaan yang terfokus pada tampilan luar. Sedangkan sisi yang lain, yaitu pendekatan esoteris, jarang ditampilkan ke muka umum. Dalam diskursus Islam sendiri, jangkauan esoteris identik dengan sufisme dan tasawuf.

Prinsip yang tak boleh dilupakan agar bisa mengaplikasikan konsep esoteris itu, khususnya di Indonesia, adalah pertama kali pengakuan terhadap pluralitas. Jika kesadaran akan hal itu tidak dipenuhi terlebih dahulu, pintu menuju gerbang berikutnya hanya akan tertutup kabut tebal egoisme. Walhasil, bukan win-win solution yang didapat, melainkan kekeruhan yang kian menebal karena tidak beranjak dari paradigma lama.

Jalal al-Din Rumi (672/1273) mengibaratkan pluralisme sebagai sejumlah orang yang membuat sebuah tenda. Untuk mewujudkannya, perlu kerja sama apik satu dengan yang lain. Jika yang satu mengikat tali, satu membuat pancang, yang satu lagi menjahit kain, sedangkan yang lain mengaitkan, memotong, dan menggunakan jarum. Meskipun dari luar seluruh kegiatan itu terlihat berbeda dan berlainan, dari sudut pandang makna hakiki, mereka semua mengerjakan satu hal: membangun tenda untuk bersama. Karena itu, yang diperlukan tidak lain kedewasaan terhadap realitas itu.

Berasal dari kata soteris, yang berarti bagian dalam atau batin, dimensi esoteris agama ditujukan untuk memahami betul makna agama secara lebih mendalam. Dalam dogma Islam dikenal pembagian ilmu hakikat (tasawuf) dan syariah yang kemudian menjadi bagian yang lain, eksoteris atau bagian luar. Jika dibuat hierarki, dimensi esoteris akan mendapat tempat pertama karena merupakan pancaran dari Yang Mutlak. Sedangkan eksoteris menempati posisi kedua karena terbentuk dalam ruang historis.

Esoterisme menawarkan pemaknaan agama secara fundamental dan substantif, antara lain menyangkut doktrin dasar, nilai etis semua agama, dan pengalaman rohani yang personal. Di sini, agama tidak didekati dengan metode hitam-putih yang memunculkan klaim benar-salah. Tetapi masuk pada tahapan membenamkan diri dalam esensi sesungguhnya atas ajaran suatu agama yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Sufi abad ke-14, Al-Jili, memiliki pandangan esoteris cukup gamblang terkait dengan hakikat keberagamaan. Di samping melihat hakikat keberagamaan secara substantif, juga meyakininya sebagai pengabdian kepada Tuhan dan segenap manusia tanpa pandang agama. Menurut Al-Jili, keanekaragaman itu terjadi akibat pengungkapan diri (tajalli) Tuhan. Karena itu, agama-agama akan selalu abadi selama Tuhan masih mengungkapkan diri-Nya.

Bagi penganut eksoteris, pandangan itu akan terasa asing dan menyesatkan. Sebagai penegas pandangan, Al-Jili menyertakan sumber asasi Al-Quran dan sunah. Totalitas alam, menurut dia, adalah abdi Tuhan yang patuh. Dalam hal pengabdian semua makhluk kepada Tuhan, Al-Jili mengutip, "Datanglah engkau berdua (langit dan bumi) dalam keadaan patuh ataupun terpaksa! Keduanya menjawab, kami datang dengan kepatuhan."

Buku ini memandu kita untuk lebih adil memandang keanekaragaman yang telah menjadi niscaya. Tidak terjebak dalam kubangan pelik agama yang mengedepankan egoisme yang berdasar pada ras, suku, dan agama. Dalam waktu bersamaan, menihilkan pesan utama semua agama, yakni kepasrahan, kedamaian, dan kesejahteraan.

Ahmad Khotim Muzakka
Peneliti Idea Studies, IAIN Walisongo, Semarang
Tidak ada komentar :

Tidak ada komentar :

Posting Komentar