Selasa, 19 Januari 2016

Jejak-jejak Pendakian Ruhani : Warisan Sufi dalam Khazanah Sastra



Jejak-jejak Pendakian Ruhani
Warisan Sufi dalam Khazanah Sastra
~ Dr. Muhammad Abdul Mun’im Khufaji, Paradigma Semesta, cet.1, 418 halaman, 2007, Stok 2, Kondisi Baru, @ Rp 65.000,- (blm ongkir)

Dahulu kala, Bangsa Arab terkenal ketajaman lisannya melalui syair-syair dan pelbagai orasi. Penyair mendapat posisi yang cukup berada di tengah-tengah masyarakat. Untuk melahirkan karya sastrawi yang berkualitas, terkadang individu penyair perlu menjalani pengalaman ekstase yang sangat membatin. Jadi tidak jarang, para penyair ini banyak juga yang bertampilan bak seorang spiritualis, hingga dukun.

Pasca kelahiran Islam, bentuk-bentuk kesusasteraan bangsa Arab mengalami berbagai macam metafora, ia berbentuk pada nuansa yang sangat politis, roman asmara anak muda, hingga pada pendakian spiritual yang nun dalam. Pada saat fase awal Islam, bisa disebut bahwa Al-Qur’an juga merupakan sebuah “Karya Sastra Agung” yang jika dilihat dalam konteks turunnya, ia cukup memposisikan sebagai oposisi biner terhadap syair-syair yang berkembang pada masa jahiliyah pra-Islam.

Banyak para muallaf pada masa tersebut tergetar hatinya ketika melirik ayat-ayat Qur’an yang memiliki nilai estetika sastra tingkat tinggi. Di satu sisi, penafsiran yang muncul disini adalah bahwa ini merupakan salah satu mukzizat Qur’an yang paling agung. Beberapa sarjana banyak juga yang mengatakan bahwa Qur’an merupakan sebuah magnum opus dari seorang Muhammad yang kompletasi secara mendalam.

Walaupun Qur’an bisa disebut sebagai tembok penghalang bagi popularitas syair-syair Jahiliyah yang berkembang saat itu, namun bukan berarti setelah itu perkembangan sastra arab mandeg begitu saja. Beruntungnya, Qur’an merupakan sebuah teks yang terbuka, yang mampu menghadirkan pelbagai macam arah penafsiran. Maka tidaklah heran, ketika peradaban Islam bersentuhan dengan peradaban belahan dunia lainnya, muncul berbagai elaborasi penafsiran.

***

Sarjana-sarjana keagamaan hingga saat ini meyakini bahwa pada dasarnya, tashawuf itu ada di setiap-setiap ajaran spiritual di berbagai belahan dunia. Karena pada esensinya, tashawuf merupakan sebuah ajaran yang lebih mengedepankan pengorbanan diri, ntah itu bagaimana akibatnya setelah itu, yang terpenting bahwa ia mendapatkan ridha dari Tuhan. Jadi wajar saja, konsep tashawuf ini sesungguhnya sangat bersinggungan ajaran spiritual yang asketik, yang lebih mementingkan kesederhanaan dalam jubah-jubah keduniawian.

Di berbagai syair-syair tashawuf, kita bisa menemukan begitu banyaknya simbolisme yang asing dan jauh dari kelugasan yang melekat di tiap-tiap bait syairnya. Ini bisa dimaklumi karena syair-syair tersebut diproduksi ketika si empu-nya syair sedang mengalami ekstase. Imam Al-Qusyairi menyebutkan bahwasanya penyebab simbolisme dalam ucapan kaum sufi yakni untuk memudahkan monopoli makna-makna perkataan bagi diri mereka sendiri, atau menyembunyikan dan mensamarkan bagi orang-orang yang menyimpang dari jalannya agar makna tersebut rahasia-rahasia mereka tidak tersebar bagi orang-orang yang bukan ahlinya.

Di sisi yang lain, Ibnu Arabi menyebutkan bahwa salah satu penyebab larinya para sufi menuju simbolisme karena tidak semua pengalaman ruhani tiap individu sufi bisa dijelaskan melalui kata-kata yang lugas. Selalu ada dimensi realitas lain yang hilang ketika dituangkan ke dalam bentuk bahasa, karena pada keterbatasan bahasa, dijumpailah setitik realitas yang (mungkin) bisa mewakili penggambarannya.

Ajaran-ajaran Tashawuf nan asketik ini selalu diliputi oleh konsep-konsep mengani kesatuan alam dan manusia, cinta, dan ke-ridha-an. Jadi seorang Sufi tidak hanya pintar merasakan pengalaman batin, namun ia mampu menjadi seorang yang bijak melalui pikirannya. Ibnu Sina dalam karyanya al-Isyaarat berujar:

“Seorang yang arif adalah orang yang selalu mencari tahu rahasia Allah dalam qadar (destination). Ia tidak akan diliputi rasa benci ketika menyaksikan kemunkaran, sebagaimana ia selalu diselimuti kasih sayang. Jika memerintahkan pada kebaikan, maka ia akan melakukannya dengan lembut penuh nasehat, bukan dengan kekerasan dan celaan”.

Selain itu, kita tentu mengetahui seorang Sufi legendaris yang cukup terkenal atas syair-syair fenomenalnya, yakni Rabiah Al-Adawiyah. Ia dinilai sebagai seorang wanita sufi yang cukup konsisten dengan pendiriannya. Sedemikian dalam kontemplasinya, ia hampir-hampir tidak memikirkan kebutuhan duniawinya. Seruan cintanya kepada Tuhan hanya karena Dzat-Nya, bukan lantaran takut neraka maupun menginginkan surga, dan yang ia harapkan hanyalah ridha dari Tuhan saja. Katanya:

“Semuanya menyembah lantaran takut api Neraka

Mereka melihat keselamatan sebagai sebuah keuntungan yang besar

Atau dengan menempati surga-surga, sehingga mereka mendapatkan istana-istana dan meminum air salsabila

Tiadalah bagian bagiku di dalam surga dan Neraka

Aku tidak mencari pengganti dengan cintaku

Bentuk-bentuk syair tashawuf yang kental dengan nuansa cintanya bisa kita lihat kembali ketika melirik percikan-percikan syair dari Ibnu Al-Faridh. Namun ada Orientalis pula seperti Kliman Huart (1854-1927 M) yang berkomentar bahwa sufi semacam Ibnu Al-Faridh ini pecinta barang-barang materialistik yang memberikan kenikmatan (dalam hal ini ekstase melalui mabuk khamr). Asumsi seperti ini muncul akibat pembacaan harfiah terhadap salah satu bait puisi Ibnu Al-Farid:

“Kami Senatiasa menyerap ingatan akan Sang Kekasih, dengannya kami menari dari sebelum dituangkannya anggur”.

Jika kita lebih jeli, justru pengalaman batin seorang Ibnu Al-Faridh tidak semudah yang dituduh oleh beberapa orientalis. Ini bisa dilihat dari statment Burhanuddin Al-Ja’bari yang menyebutkan ada surga dalam roman muka Ibnu Al-Faridh. Namun yang terjadi kemudian justru Ibnu Al-Faridh menjerit, merasakan kepanikan yang mendalam. Ibnu Al-Faridh berujar bahwa itu bukanlah yang ia cari, yang ia cari samalah persis dengan yang Rabiah Al-Adawiyah cari, yakni keridhaan tanpa mengharapkan surga maupun takut akan neraka. Setapak demi setapak, kebajikan Ibnu Al-Faridh terus meningkat sedemikian rupa. Dalam dirinya kini hanya ada cinta, tidak ada yang lain.

Selanjutnya, konsep cinta ilahi mulai bergeser pada titik yang lebih jauh, yakni pada konsep wahdatul wujud (kesatuan eksistensi). Ibnu Arabi disebut sebagai salah satu generasi salaf dalam hal ini. Pada dasarnya, dalam wahdatul wujud ini, hakikatnya ia tidak ittihad maupun hulul, sebab ittihad yakni ketersebaran makna ketuhanan (al-uluhiyah) pada segala semesta. Sedangkan yang dimaksud dengan hulul adalah turunnya Tuhan pada salah satu pribadi manusia dalam sesekali waktu. Pasca Ibnu Arabi, kita mengenal seorang sufi yang cukup masyhur dalam mendendangkan syair-syair yang berkaitan dengan konsep ini adalah Al-Husen Al-Hallaj. Al-Hallaj mencintai Tuhan hingga batas kelenyapan (fana’). Dalam hal ini, Al-Hallaj berdendang:

Aku kagum kepada-Mu dan kepadaku

Wahai Zat yang banyak memberi pada yang meminta

Kau dekatkan aku kepada-Mu, sehingga

Aku menyangka bahwa Kau adalah Aku

Aku lenyap dalam cinta, sehingga Kau lenyapkan diriku pada diri-Mu.

Lalu Al-Hallaj pada kesempatan lain semakin menegaskan konsep tashawufnya melalui bait syair berikut:

Aku dari Cinta dan dari Cinta-lah aku

Kami adalah dua ruh yang menempati satu badan

Jika kau melihatku, berarti kau melihatnya

Jika kau melihatnya, berarti kau melihat kami

Dalam sepercik bait puisi Al-Hallaj ini, kita bisa melihat bahwa pada awalnya konsep tashawuf yang Al-Hallaj coba selami adalah konsep Wahdatul Wujud, namun pada kelanjutannya Bait-bait syair Al-Hallaj mulai bergeser kepada konsep Hulul, yakni konsep peleburan diri dengan Tuhan, yang sekilas mirip dengan konsep peleburan Tuhan pada diri Yesus. Karena konsep inilah, Al-Hallaj dikafirkan oleh berbagai banyak ulama bahkan hingga ia akhirnya dihukum mati di Baghdad.

***

Sebagai sebuah buku permulaan menuju dunia kesusasteraan tashawuf, Abdul Mun’im Al-Khufaji cukup jeli mensistemasikan pola-pola perkembangan konsep-konsep penting di dalam dunia tashawuf. Disini semakin ditegaskan, bahwa khazanah tashawuf selalu berkembang seiring berkembangnya Islam beserta penafsirannya. Khazanah tashawuf di satu sisi membuka cakrawala Islam dalam bentuk yang lain, namun di satu sisi yang lain ia bagaikan wadah yang kosong, yang siap menampung berbagai intisari ajaran-ajaran kebenaran yang senantiasa dicari oleh seluruh umat manusia.

Buku ini memberikan sebuah studi komparasi mengenai madzhab-madzhab syair dalam tradisi tashawuf, dan juga pergeseran-pergeseran konsep yang terjadi pada syair-syair tashawufnya. Sungguh, dunia tashawuf memang memberikan pemahaman dunia yang lebih luas, yang dimana ia tidak terbatas hanya oleh sekat-sekat formalisme, namun ia sudah melampaui itu lewat tahapan-tahapan terjal yang harus dilalui. []

—Penulis adalah Editor di Komunitas Payung, Santri Pondok Pesantren At-Taharruriyyah Semarang

https://komunitaspayung.wordpress.com/2015/08/09/menembus-alam-cinta-bersama-khazanah-sastra-sufistik/#more-251
Tidak ada komentar :

Tidak ada komentar :

Posting Komentar