Minggu, 03 Januari 2016

Narada Bhakti Sutra. (SOLD OUT)

(SOLD OUT)

Narada Bhakti Sutra.
Menggapai Cinta tak Bersyarat dan Tak Terbatas.
→ Anand Krishna, stok 1, kondisi baik, mulus tanpa coretan, Rp 65.000,- blm ongkir.

“Tuhan bagaikan magnet. Senantiasa siap untuk ‘menarik’ kita. Jiwa kita saja yang karatan, sehingga tidak ‘ketarik’.

“Kehadiran para suci di dalam hidup membantu kita membersihkan jiwa. Itu saja. Selanjutnya, tidak perlu mencari Tuhan. Mancari ke mana? Di mana? Dia Maha Dekat dan Maha Hadir Ada-Nya, tidak pernah menghilang. Jiwa yang sudah karatan harus dibakar. Ya, dimasukkan ke dalam api. Tidak ada cara lain untuk membersihkannya. Itu sebabnya proses pembersihan selalu menyakitkan. Bila tidak sakit, berarti karat jiwa kita belum terbakar. Dan bila tidak dibakar, tak akan bersih juga.

“Jangan harap ‘pertemuan’ dengan para suci menyelesaikan perkara. Tidak. Sebaliknya, pertemuan itu justru membuka perkara. Jiwa kita dibuka, ditelanjangi. Borok-borok kita diperlihatkan.

“Pertemuan dengan para suci memang sulit. Hanya terjadi bila dikehendaki oleh Allah. Dan yang lebih sulit lagi, bagaimana mempertahankan pertemuan itu. Bagaimana bertahan menghadapi ‘ulah’ para suci. Mereka tidak pandang bulu, tidak pilih kasih. Berusia tua atau muda, kaya atau miskin, berpangkat atau tidak, semua sama. Mau dibakar, ya dibakar. Mau ditelanjangi, ya ditelanjangi.”  (Krishna, Anand. (2001). Narada Bhakti Sutra, Menggapai Cinta Tak Bersyarat dan Tak Terbatas. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)



“Tidak ada perbedaan antara Dia dan kepunyaan-Nya. Antara Dia dan umat/ciptaan-Nya. Narada boleh berkata demikian, kenyataannya apa? Dia bagaikan magnet. Kita bagaikan besi karatan. Perbedaan ini tampak jelas. Jangankan perbedaan antara Dia dan ciptan-Nya, lihat saja perbedaan antara kita dengan seorang Mahatma Gandhi. Perbedaan Anda dan seorang Mother Teresa. Antara saya dan Inayat Khan. Apa yang membedakan kita dengan mereka? Lagi-lagi, jawabannya: ‘Lapisan karat pada jiwa kita’. Lalu lapisan karat ini berasal dari mana? Dari alam sekitar kita, dari air dan angin dan elemen alami lainnya. Dari segala sesuatu yang terciptakan oleh unsur-unsur alami tersebut. Dari pergaulan. Dari masyarakat luas.

“And yet, apakah angin dan air dan elemen lain itu bermusuhan dengan kita? Tidak. Tanpa mereka kita tidak dapat hidup. Lalu, apakah kita harus menjauhi masyarakat dan menjadi asosial? Tidak juga. Manusia adalah bagian dari masyarakat. Interaksi dengan sesama makhluk hidup tidak dapat dihindari.

“Selama jiwa kita masih belum menjalani proses ‘anti karat’, belum dilindungi oleh ‘lapisan kasih’, sebaiknya kita bermawas diri. Berhati-hatilah! Seringkali, kita berada di tempat yang salah. Elemen-elemen alami pun kita salah gunakan. Selama air digunakan untuk minum, cuci dan mandi, no problem. Tetapi, bila Anda berendam terus di dalam air, ya pasti jatuh sakit. Interaksi dengan masyarakat dan pergaulan pun boleh-boleh saja. Asal kita tahu batas. Sebatas apa?sejauh mana? Dengan siapa dan untuk apa? Be natural… Be yourself…. Sudah dilahirkan sebagai manusia, ya sudah, hidup di darat saja. Tidak perlu belajar hidup di dalam air. Itu habitat ikan dan binatang-binatang lain sejenis.

Dalam kesahajaan, kita menyadari kehadiran-Nya. Kita menemukan Dia. Menemukan Kasih!”  (Krishna, Anand. (2001). Narada Bhakti Sutra, Menggapai Cinta Tak Bersyarat dan Tak Terbatas. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)
Tidak ada komentar :

Tidak ada komentar :

Posting Komentar