Jumat, 11 Desember 2015

Indonesia dalem Api dan Bara (SOLD OUT)

(SOLD OUT)

Indonesia dalem Api dan Bara
Penulis: Tjamboek Berdoeri
Tebal: 398 halaman
penerbit elkasa, cetakan 2, 2004.
Kondisi Baik, mulus tanpa coretan.
Stok 1, Rp 90.000,- (blm ongkir)

Banyak sudah buku-buku sejarah yang menulis rangkaian peristiwa masa-masa pra kemerdekaan khususunya masa peralihan dari pemerintahan kolonial Belanda kepada Jepang dan masa peralihan dari pemerintahan Jepang ke masa-masa revolusi kemerdekaan. Namun peristiwa-peristiwa penting tersebut biasanya hanya ditulis dalam bentuk angka-angka tahun disertai penjelasan-penjelasan singkat dan seperlunya. Sangat jarang buku yang menceritakan masa-masa itu secara mendetail lengkap dengan gambaran masyarakat yang terlibat didalamnya. Buku Indonesia Dalem Api dan Bara ini rupanya akan melengkapi kelangkaan tersebut karena buku ini memiliki gambaran yang lengkap dan luas mengenai peristiwa, suasana dan kondisi sebagian masyarakat Indonesia yang hidup di masa itu.

Buku ini ditulis ditulis oleh seorang Tionghoa yang memiliki nama pena Tjamboek Berdoeri, pertama kali terbit pada tahun 1947 di kota Malang yang pada saat itu diduduki oleh Tentara Belanda. Ketika pertama kali diterbitkan nama penerbit dan identitas asli penulisnya sengaja tidak dicantumkan untuk melindungi penerbit beserta penulisnya kalau-kalau buku ini mendapat sensor dari tentara Belanda. Buku ini ditulis dengan menggunakan bahasa Melayu Tionghoa Pasaran yang dibumbui oleh bahasa Belanda dan Jawa. Isinya menceritakan berbagai peristiwa yang dialami langsung oleh penulis dari tahun 1941 hingga 1947. Buku ini kini diterbitkan kembali atas prakarsa Ben Anderson, seorang Indonesianist asal Cornell University Amerika Serikat dengan tetap mempertahankan keaslian bahasa dan ejaannya. Selain kisah asli dari Tjamboek Berdoeri, buku ini juga dilengkapi dengan kata pengantar yang komprehensif sebanyak 78 halaman dari Ben Anderson, kisah pengungkapan jati diri Tjamboek Berdoeri, sejarah kota malang dan foto-foto pendukung serta riwayat hidup Kwee Thiam Tjing.

Karya asli Tjamboek Berdoeri yang berjudul Lelatoe Jang Djadi Laoetan Api di buku ini dimulai dengan situasi mencekam menjelang masuknya tentara Jepang di Indonesia. Saat itu sekitar tahun 1940 Hitler secara tiba-tiba menyerbu Belanda, hal itu kemudian diperburuk dengan larinya Ratu Belanda menuju Inggris sehingga rakyat Belanda mau tidak mau harus menyerah pada kekuasaan Hitler. Sadar akan keadaan tanah airnya yang menjadi negara terjajah dan invasi tentara Jepang yang mulai mengincar kawasan Asia, pemerintah Belanda di Indonesia merasa khawatir kedudukannya terancam dan mulai mempersiapkan diri untuk berperang. Salah satunya yaitu dengan mendirikan stadwatch yaitu paramiliter yang bertugas sebagai penjaga kota yang anggotanya direkrut baik dari penduduk Indonesia baik pribumi, Arab, Belanda atau Tionghoa. Penulis termasuk salah seorang dari sedikit golongan Tionghoa yang mendaftar sebagai stadwatch.

Ketika akhirnya Belanda menyerah tanpa syarat pada balatentara Jepang maka secara otomatis stadwatch hanya berfungsi sebagai polisi cadangan yang tidak dipersenjatai, hal ini membuat wibawa stadwatch menjadi hancur dan menjadi bahan olokan penduduk sipil. Ketika akhirnya stadwatch dibubarkan maka penulis diangkat sebagai ketua RT disekitar tempat tinggalnya yang merupakan perkampungan orang-orang sipil Belanda. Buku ini juga melukiskan masa pendudukan Jepang sebagai masa yang penuh penderitaan. Berbagai peraturan dibuat oleh tentara Jepang untuk membatasi gerak-gerik penduduk, toko-toko kaum Tionghoa dijarah oleh tentara Jepang, gadis-gadis cantik diperkosa sehingga setiap gadis terpaksa harus membuat dirinya terlihat jelek dan kumal untuk menghindari tatapan mata tentara Jepang yang doyan wanita cantik. Kehadiran polisi rahasia Jepang Kenpeitai menambah keresahan masyarakat, mereka dengan mudah dapat menangkap dan menyiksa penduduk yang dicurigai sebagai mata-mata musuh hanya berdasarkan laporan seseorang tanpa penyelidikan lebih lanjut.

Para officer dan orang sipil Belanda turut juga merasakan kekejaman tentara Jepang, kaum prianya dipekerjakannya di perkebunan teh sedangkan perempuan dan anak-anaknya dikumpulkan dalam kamp-kamp konsentrasi yang tidak layak huni.

Ketika akhirnya Jepang menyerah dan tentara sekutu belum melakukan apa-apa maka mucullah kelompok-kelompok bersenjata pribumi yang mendesak tentara Jepang untuk mengalihkan kekuasaannya dan kelompok-kelompok ini pula yang nantinya melakukan perlawanan yang hebat terhadap tentara sekutu di berbagai kota. Di kota Malang tempat penulis tinggal kelompok -kelompok ini menjadi tak terkendali dan melakukan pemboikotan bahan makanan terhadap keluarga-keluarga Belanda, mereka menawan penduduk sipil Belanda dan membumihanguskan kota dengan membakar rumah-rumah mereka. Penulis yang pada saat itu masih menjabat sebagai ketua RT dilingkungan yang banyak dihuni penduduk sipil Belanda berusaha menghentikan tindakan anarkis mereka. Namun ironisnya penulis tak mampu menghentikan tindakan anarkis kelompok-kelompok itu yang membakar kampung pecinan dimana banyak sanak saudaranya tinggal. Saat itu seluruh penduduk pecinan di kota Malang diluluh lantakkan oleh api dan seluruh penghuninya dibawa ke suatu tempat untuk diinterrogasi, mereka yang dicurigai sebagai mata-mata musuh dibantai secara keji. Peristiwa ini menjadi penutup dari keseluruhan kisah dibuku karya Tjamboek Berdoeri ini, sebuah tragedi kemanusiaan dari sebuah revolusi.

Tentang Pengarang
Identitas pengarang buku ini yang menamakan dirinya Tjamboek Berdoeri menjadi misteri selama 57 tahun. Tak seorangpun yang mengetahui siapa jati diri dari penulis buku ini. Buku ini hanya mencantumkan nama Kwee Thiam Tjing sebagai pemberi kata pengantar . Kwee sendiri mengaku telah diberi naskah dari buku ini oleh sang pengarang untuk diterbitkan dengan nama pena Tjamboek Berdoeri.

Setelah buku ini lama tenggelam dan terlupakan orang, secara tidak disengaja Ben Anderson, seorang Indonesainist asal Cornell University Amerka Serikat menemukan buku ini di sebuah kios barang antik di Jakarta pada tahun 1963.Tertarik dengan isi dari buku ini, Ben mencoba mengungkap misteri dibalik nama Tjamboek Berdoeri ini, namun sayang sebelum ia berhasil mengungkapnya ia terpaksa harus meninggalkan Indonesia karena dicekal oleh rezim Orde Baru pada masa itu. Barulah ketika Orde Baru jatuh dan kebebasan berpendapat terbuka secara lebar Ben anderson kembali mencoba mengungkap kembali misteri Tjamboek Berdoeri. Bersama kawan-kawannya di Indonesia dia membentuk tim peneliti khusus untuk mengnungkap jati diri Tjamboek Berdoeri .. Misteri Tjamboek Berdoeri baru tersingkap ketika pada tahun 2001 seorang anggota tim peneliti berhasil menemui sahabat lama Kwee Thiam Tjing di Malang. Menurutnya Kwee Thiam Tjing sendirilah yang menulis buku itu. Setelah memperoleh keterangan itu pelacakan difokuskan pada keberadaan Kwee sendiri, barulah pada tahun 2002 secara kebetulan Ben Anderson bertemu dengan seseorang yang mengenal keluarga Kwee yang masih hidup di Jakarta. Akhirnya terungkaplah misteri Tjamboek Berdoeri ini. Tjamboek berdoeri adalah Kwee Thiam Ting yang menulis kata pengantar di bukunya sendiri.

Kwee Thiam Tjing lahir di Pasuruan pada tanggal 9 Oktober 1900, ia pernah bekerja sebagai wartawan harian Lay Po (1920), Pewarta Soerabaja (1921), sin Jit Po (1929), dan Pembrita Djember (1933). Kwee dikenal sebagai jurnalis yang memiliki gaya yang khas. nakal dan berani mengungkap ketidakadilan yang ditemuinya. Karena kenakalannya ini Kwee terpaksa harus mendekap di penjara selama 10 bulan karena tersangkut delik pers dengan tuduhan menghina pemerintah Hindia Belanda pada tahun Setelah menulis pengalamannya dalam buku Indonesia Dalem Api dan Bara, Kwee pergi ke Malaysia dan menetap disana. Pada tahun 1970 ia kembali ke Indoensia dan menulis artikel untuk koran Indonesia Raya milik Mochtar Lubis. Pada tanggal 28 Mei 1974 Kwee meninggal dunia sebagai seorang biasa yang namanya terlupakan orang hingga diterbitkannya kembali buku ini.
Tidak ada komentar :

Tidak ada komentar :

Posting Komentar